Sunday, December 25, 2005

My Indonesia: Tsunami – Padang – Emergency Response

[Raffles Lounge at Changi Airport]

Saya membaca edisi terakhir Time di Raffles Lounge – Bandara Changi Singapura, di perjalanan pulang ke Jakarta akhir minggu yl. Di salah satu artikelnya “Living in Fault Line” dan dalam rangka memperingati setahun kejadian super dahsyat tsunami pada tanggal 26 Desember nanti. Di sini Time mengulas tentang efek domino yang (mungkin) akan terjadi di patahan antar dua lempeng raksasa, setelah kejadian besar di Desember tahun lalu dan awal tahun ini.

Ancaman terjadinya bencana Tsunami, sekarang bergeser ke arah Selatan yakni kota Padang. Time mengambil pendapat seorang geologis Amerika, Kerry L (I’m not so sure his last name), yang telah menganalisa kemungkinan terjadinya benturan besar antar dua lempeng tersebut di daerah perairan antara kepulauan Mentawai dan kota Padang. Walaupun, kejadian tersebut bisa terjadi dalam sekala hitungan tahun bahkan 50 atau ratusan tahun ke depan, tetapi kemungkinan korban sangatlah besar untuk kota Padang. Dari hasil penelitiannya, Padang di huni sekitar satu juta orang dengan kemungkinan 50% dari penduduknya terimbas atau terjangkau oleh sapuan gelombang (sekitar 4meter). 500 ribu penduduk!!!

Berikut adalah pendapat pribadi saya, bahwa saya cukup puas ketika membaca rencana pelaksanaan pelatihan tanggap darurat (emergency drill) yang dilakukan minggu ini di kota Padang yang melibatkan ribuan penduduk dan di dukung oleh Menteri Ristek. Cukup memuaskan sebagai skenario awal untuk pengadaan prosedur tanggap darurat terhadap bahaya Tsunami.

Pemerintah seharusnya juga menyediakan tempat yang cukup tinggi sebagai muster point untuk disetiap daerah, dan pada pelaksanaannya tim harusnya mengevaluasi waktu rata-rata dan paling lama yang diperlukan untuk menuju dan sampai di muster point tersebut. Muster point dan emergency response plan merupakan suatu keharusan yang dimiliki di setiap daerah dengan ancaman bahaya alam seperti tsunami atau ancaman gunung berapi. Tingkat kesadaran dan kompetensi dari penduduk, bisa ditingkatkan dengan pengadaan emergency drill setiap tahun dan penyuluhan.

Emergency response plan, seharusnya juga meliputi pengadaan tenaga dan prasarana sesudah bencana terjadi. Sehingga respon yang lambat terhadap kejadian di Aceh tidak terulang lagi dan kita bisa menghindari/mengurangi jumlah korban. Apabila pemerintah pusat mengharuskan setiap kabupaten memiliki tim dan sarana penunjang untuk tanggap darurat, ini akan sangat membantu dalam menghadapi bencana tingkat propinsi ataupun skala nasional. Misalnya, dengan pengadaan tim sukarelawan yang terdiri dari sejumlah ahli/praktisi di masing-masing disiplin yang diperlukan (misalnya, medis, jasa boga, agamawan dsb) untuk setiap sekian ribu penduduk. Setiap kabupaten juga harus melengkapi dengan body bag, ransum makanan, dsbnya untuk setiap sekian ribu penduduk. Sehingga jika diperlukan, misalnya, suatu kejadian di Papua, kabupaten di Papua langsung dapat bereaksi membantu melakukan tanggap darurat (one hour response), Propinsi sekitar juga langsung dapat membantu (six hour response) dan Propinsi yang lain membantu dengan respon yang lebih lama.

Tetapi ketika membaca berita di Time tersebut, yang sangat menyentak adalah persepsi mereka terhadap Indonesia:
Even by Indonesia’s chaotic standards, 2005 was a tough year. First came the gargantuan task of cleaning up and rebuilding after the tsunami – a job rendered more challenging by incompetence, bureaucracy and corruption.

Persepsi bahwa kita adalah tidak mampu, birokrasi dan korupsi – hanya bisa dilawan dengan langkah pasti. Persepsi tidak bisa dilawan dengan silat lidah, tetapi kita harus menunjukkan bahwa kita mampu, merespon tanggap darurat dengan segala kedaruratan (tanpa birokrasi) dan tidak mencuri hak korban walau sesuap nasi.

Buktikan bahwa kita bisa!!!

No comments: